"HARRY POTTER" REVIEW

https://i.ytimg.com/vi/SqlbkSwiE0E/maxresdefault.jpg

Hallo everyone..
Meet again. Dan kesempatan kali ini gue bakal ngereview novel + film seri terspektakuler yang pernah gue temui.
Ada yang bisa tebak? Yep! Harry Potter.
Happy reading...

Pertama kali berkenalan dengan Harry Potter mungkin sudah terlambat. Sangat terlambat mungkin. Gimana engga, harry potter yang udah muncul dari tahun 1997—novelnya, gue baru baca di tahun 2015. Telat hampir sekitar 18 tahun. Persis seperti umur gue sekarang.
Yaa, sebenernya gue udah cukup sering liat film harry potter ini bergentayangan di televisi tapi karena sering kepotong iklan jadi gue suka lupa buat pindah channel lagi dan akhirnya gue ketinggalan beberapa moment.
Sampai tibalah saat gue lagi duduk-duduk santai karena UN udah selesai, waktu itu temen gue lagi cerita katanya dia baru aja download novel Harry Potter yang ternyata tebelnya hampir seribu halaman. Pertama kali denger, shock berat. Nggak pernah gue bayangin baca novel setebel itu. Lagian sebenernya juga gue nggak terlalu tertarik ataupun peduli. Tapi setelah beberapa minggu yang kosong gue memutuskan ke rumah dia buat minta film dan sekalian juga novel Harry Potter.
Agak enggan sebenernya gue buka novel itu. Dan pas gue mau baca seri pertama, ternyata dokumennya nggak bisa kebuka dengan bertuliskan peringatan « secured » Dengan berat hati gue langsung aja buka yang seri keduanya—Harry Potter and The Chambers of Secret—dan membacanya perlahan.

Mula-mula “datar”, gue mulai bosen tapi tetep baca. Lama kelamaan gue berpikir “lumayan”, lalu “seru”, dan diakhiri dengan “gila, keren banget”. Magic! Sihir! Dunia yang lain yang bener-bener diciptain rowling sedemikian rupa. Walau ini novel Harpot pertama yang gue baca, tapi anehnya gue nggak ngerasa nggak ngerti, nggak ngerasa nggak paham, ini namanya sekuel yang keluar dari ketergantungan.
https://journalsinenglish.files.wordpress.com/2014/06/harry-potter-and-the-sorcerer-s-stone-the-sorcerers-stone-23841509-1280-544.png

Hal-hal baru. Galleon. Quidditch. Mobil terbang. Peron 9 ¾. Tongkat. Dobby—si peri rumah. It’s fuckin amazing. Alur ceritanya juga ngebawa banget. Kadang gembira, kadang sedih, kadang ngeri, kadang juga terharu. The Chambers of Secret—novel pertama yang bikin gue nyesel udah baca kecepetan. Yaa walau 2 hari nggak bisa dibilang cepet. Tapi itulah yang gue rasa. Gue kayak kehilangan temen lama yang biasa dinanti-nanti untuk dibaca. Alhasil , gue kembali buka halaman demi halaman dan membacanya kembali, mencoba merasakan atmosfer yang sama, walaupun gue tau itu nggak pernah sama. Gue juga baru tahu sebenernya novel Harry Potter jauh meninggalkan kesan horor seperti yang ada di filmnya. Di novel itu banyak kok lelucon pendek yang diselipin Rowling disana-sini.

Setelah tamat seri kedua, gue searching di google harga satu paket novel Harry Potter. Lalu kayak dua bludger nimpuk kepala gue, harganya 950.000 bro! Oke whatever, cukup satu hal yang gue tau, gue nggak bisa beli sekarang.

Selang beberapa hari gue akhirnya kesampean buat baca seri pertamanya—Harry Potter and the sorcerer stone. Menurut gue, novel ini bener-bener magnet. Gue nggak abis pikir, bagus, sangat bagus untuk permulaan. Magnet yang mampu narik gue untuk lebih nggak sabar buat baca seri selanjutnya. Walau konfliknya sederhana dibanding novel-novel setelahnya, tapi gue ngerasain banget aroma persahabatan. Harry –Ron-Hermione. Gue tau ternyata mereka dulunya nggak deket. Hermione yang anti ngelanggar peraturan dan agak sombong dengan kepintaran. Harry yang suka ngelanggar peraturan dan seneng ditantang. Ron yang setia sama Harry, ngedukung apapun peraturan yang pengen dilanggarnya wkwk, dan Ron yang benci dengan Hermione yang terlalu pamer kepintaran.
Nggak nyangka mereka jadi sahabat. Sungguh manis. Ini bukti persahabatan bukan kumpulan orang-orang yang mempunyai persamaan sifat. Tapi lebih ke kebalikan, persahabatan itu kumpulan orang yang bisa melengkapi, melindungi, menasehati, satu sama lain.

Dan cuma selang sehari dari tamat seri pertama gue langsung beralih ke seri ketiga—Harry Potter and the Prisoners of Azkaban. Menurut gue seri ini lebih horor dari seri sebelumnya, jarang banget rowling nyisipin lelucon-lelucon pendek, bahkan mungkin hampir nggak ada. Hal yang paling menarik perhatian gue adalah Dementor. Gue sempet ngebayangin gimana seremnya tampang dementor—si penjaga penjara Azkaban. Ya kira-kira begitulah, tinggi, berkerudung hitam, melayang-layang. Dan membuat beberapa kali Harry pinsan. Mengerikan. Dan adalagi katanya kecupan dementor, kecupan yang lebih mengerikan daripada kematian, yang akan menyedot jiwa lo sampe habis, sampe lo lupa sebenernya lo masih hidup, sampe lo lupa lo masih punya keluarga, teman, sahabat, sampe lo lupa lo masih punya kenangan indah, cuma mimpi buruk yang bakal lo rasain. How teribble.
https://static.giantbomb.com/uploads/original/0/5911/1858510-poa.jpg
Lalu rowling pun mengarahkan pembacanya pada sosok Sirius Black, sosok yang digadang-gadang adalah abdi setia si pangeran kegelapan, kabur dari azkaban untuk membunuh satu-satunya potter yang tersisa untuk membalaskan dendam. Tapi ternyata… kenyataannya berbalik 360 derajat. Dari penjelasan Lupin gue tau, Sirius Black bukanlah si abdi Voldemort, ia adalah teman ayahnya Harry, teman yang memilih mati daripada harus mengkhianati sahabatnya sendiri. Dan ternyata selama ini tikus ron-lah biang keladinya—Petter Pettigrew. Ia beranimagus, ia yang mengisiki the Dark Lord dimana keluarga Potter bersembunyi. Si tawanan Azkaban yang terkurung selama 12 tahun ternyata tak pernah bersalah. 

Lupin dan Sirius adalah sahabat dekat. Marauder’s Map adalah bukti persahabatan mereka. Moony adalah Lupin, Wormtail adalah Pettigrew, Padfoot adalah Sirius, dan Prongs adalah James—ayah harry. Mereka semua adalah animagi, belajar selama 3 tahun untuk menemani teman mereka—Lupin yang selama ini ternyata manusia serigala. Membuat lupin kembali ingat jati dirinya sebagai manusia bukan serigala. Disitu aroma pershabatannya bener-bener buat gue terharu, sampe nggak nyangka harus ada pengkhianat diantara mereka. Disini suasana hati gue meledak-ledak. Satu kata: puas.

Dari sini gue mulai menyadari cara menulis Rowling. Dari seri harry potter yang pertama gue sadar semua dugaan yang disudutkan selalu berbanding terbalik dengan kenyataan atau lain kata “salah sasaran”. Seperti harry yang mengira bahwa Snape akan mencuri batu bertuah ternyata Quirrel-lah sang aktor sebenernya. Di seri kedua ketika semua orang bahkan harry yakin bahwa Hagrid yang telah membuka kamar rahasia dulu dan sekarang lalu terbantahkan oleh Ginny Weasley yang dipengaruhi Voldemort. Dan di seri ketiga ini hal yang sama pun kembali terulang. Tapi gue merasa seri ketiga ini membuat kejutan yang luar biasa hebat.

Sampai saat ini The Prisoners of Azkaban adalah novel terfaforit gue. Lalu gue pun menonton filmnya, berpikir betapa serunya pasti. Awal-awal gue masih berpikir bagus tapi mendekati akhir gue merasa kecewa berat. Banyak banget kejadian yang dipotong. Dan yang paling parah itu final Quidditch nggak ada, padahal itu pertama kali Harry dan Gryffindor meraih piala Quidditch selama 7 tahun. Penjelasan Lupin juga nggak terlalu lengkap masih terlalu banyak misteri. Trus gue juga sadar, Hogwars keliatan berbeda dari dua seri sebelumnya. Lebih banyak perbukitan. Dan pondok Hagrid yang dulu sangat dekat dengan hogwarts jadi keliatan jauh, tampak lebih besar, kayaknya emang abis direparasi dah. Tapi actually, setelah nonton untuk kedua kalinya, film ini ternyata bagus loh, gue suka musiknya dan pembawaan alur cerita yang agak berbeda malah menjadi kesan apik.

Harry, Ron dan Hermione keliatan lebih dewasa. Mereka jarang menggunakan seragam ataupun jubah hitam nan panjang. Mereka disini lebih banyak pakai baju bebas. Hermione mulai menyingkirkan poni nya yang menutupi mata. Dan Dumbledore juga berbeda, ya gue tau pemeran Dumbledore emang ganti karena yang dahulu meninggal. Tapi keliatannya agak aneh aja, gue belum bisa nerima perubahan.
Walaupun ini adalah seri film yang paling berbeda dengan novelnya—toh gue tetep suka. Gue sadar film dan novel adalah dua media yang berbeda. Kalo di novel kita bisa membayangkan sesuai ekspetasi kita sesuai imajiner kita. Dan ternyata setelah kita liat film itu diluar atau bahkan jauh dari ekspetasi, kita pun merasa kecewa. Tapi sebenernya nggak, film itu tetep bagus selama lo ngebanding-bandingin dengan novelnya.
http://images4.fanpop.com/image/photos/17100000/Hermione-Goblet-of-Fire-hermione-granger-17194287-1920-800.jpg

Tibalah di The Goblet of Fire. Sialnya di novel ke 4 ini gue nggak sengaja baca spoiler-spoiler yang membuat kejutan luar biasa menjadi biasa. Antara lain nama Harry yang keluar dari piala api dan Professor Moody palsu alias si Barty Crouch Junior. Gue lalap selama 4 hari dengan baca dari abis subuh sampe sore. Bener-bener seru. Jadi pas mata gue lelah dan bermaksud mau udahan malah baca lagi dan lagi wkwk. Best moment di novel ini ialah usaha Hermione untuk nyatuin Harry dan Ron yang mogok ngomong, “Kalian tolol benar,” kata Hermione bercucuran air mata dan memeluk mereka berdua erat.
Dan ini yang paling gue tunggu-tunggu, kekuatan persahabatan mereka yang kadang meruntuhkan ego gue untuk nggak ngeluarin air mata. Entah kenapa gue langsung inget saat pertama kali mereka bertemu, lalu bersama-sama selama 4 tahun ini. Sungguh masa-masa yang panjang dan penuh kerikil.
Sayangnya menurut gue kebersamaan trio ini terlalu sebentar di film. Padahal di novel Ron dan Hermione terus menerus ngebantu harry  buat nyelesain tugas kedua dan ketiganya. Kemunculan Sirius juga terlalu sedikit di film, sedang di novel, Sirius bahkan dateng ke Hogwarts pas Harry kembali dari portkey. Terkadang ada beberapa hal yang nggak bisa gue tangkep di film tapi lebih ke novel seperti kebencian Snape terhadap Harry yang terus menerus mengurangi angka Gryffindor. Lalu Treawnley—guru ramalan yang seneng banget ngeramalin kematian muridnya terutama kematian harry. Juga si Skeeter yang belakangan diketahui sebagai animagus tak terdaftar.

Untuk film ini—lumayan. Bagus menurut gue. Lepas dari cerita, gue suka banget penampilan trio ini terutama harry. Keliatan banget remajanya. Yang paling beda itu si Hermione—rambutnya yang lebat dipangkas. Poninya yang menutupi mata—disingkir total. Very nice, Hermione. Ron menjulang tinggi mirip fred dan george. Dan dia sepertinya menggantikan poni Hermione.
Best moment di film ini ketika Harry dan Ron lagi berada di kelas Snape lalu mereka sedang ngobrolin tentang pasangan buat pesta dansa, dan tiba-tiba si Snape dateng dan blek, wkwk. Well done, Professor! Gue merasa ini akhir petualangan mereka, berani taruhan novel berikutnya pasti masalah jadi makin berat. The dark lord is back, isn’t it? Yeah.
https://www.walldevil.com/wallpapers/a33/harry-potter-movies-widescreen-pixels-battle-wallpapers.jpg

Order of Phoenix. Novel setebal 1200 halaman ini gue lalap selama 5 hari. For the first time, gue baca novel setebel itu. Tapi menurut gue pembukaan Order of Phoenix kurang mengesankan. Entah, pertama kali gue ngerasa Rowling buang-buang kata. Too much Dolores Umbrige, u know? Hampir percakapan semua guru dan umbrige ada. Untungnya kehadiran sirius bisa nyeimbangin kebosanan gue. Tapi makin ke tengah makin seru. Apa lagi saat harry bermimpi ttg ular yang nyerang Mr.Weasley, dari situ semua makin seru. Tambahan occlumency bersama Snape, dan gue masih inget banget reaksi Ron saat tau gitu: "Tambahan pelajaran dengan Snape? Aku lebih suka dapat mimpi buruk”. 

Best moment di novel ini ketika Sirius muda nanya sama Lupin, “kau suka pertanyaan nomor 10, moony?” Dan lupin jawab, “Ya, pertanyaan bagus. Sebutkan tanda-tanda manusia serigala.” “Satu: dia duduk di kursiku, dua: dia memakai pakaianku, tiga: namanya Remus Lupin.” Sumpah ini bikin ngakak.
Dan bayang-bayang penyebab kebencian Snape terhadap Harry jadi jelas. Ternyata karena dulu James suka mengolok-olok Snape, ngisengin, bahkan ngegantung di pohon.  Jadi nggak salah pas Harry bilang “My father is a great man.” Lalu snapemenjawab, “Your father was a swine.”
 Little bit of swine, I think. Sama kayak harry, ini juga pertama kali gue prihatin sama Snape. #ngirisbawang._.

Tapiiii kenapa Sirius harus mati? Sumpah kenapa sekarang? Saat Harry baru 2 tahun bahagia punya seorang ayah. Gue takut gue terlalu kenal dengan Sirius. Gue tau dia sayang banget sama Harry. Gue kembali inget saat Harry minta tinggal selamanya bareng Sirius  jika dia gagal di sidang dengar pendapat. Gue inget saat dia ngasih peringatan ke Snape untuk jangan macem-macem sama Harry. Gue inget Sirius selalu menyediakan atau bahkan mempertaruhkan segalanya untuk harry dan bertemu harry. Menjalankan tugasnya sebagai wali. Gue inget saat harry seneng banget nerima tawaran untuk tinggal bareng dia saat dia lolos dari Azkaban. Emang baru 2 tahun, tapi kayaknya gue udah kenal lama dengan Sirius jadi gue terlalu sakit untuk nerima dia sebagai anggota Orde yang satu-satunya mati.
I miss you, Sirius. I know  you’re a great father. I know you die in peace. I know you die to show harry how much you love him, how much you care about him:’) 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJuISZaRdOQTQd3fBeSzBkrsQyvX77fGlWK6PIyGwme5Gc09RwspkGd2Pp3_LMiu0M76y98SDkzb2DwEeNEzs_ez2jmeJuKqbD2NvKOZlW2u7fSbYQ0EdA6B4hW5NLUO7p_E4v9W1X49ZZ/s1600/Sirius+Arch.jpg

Ini novel Harry Potter pertama yang bikin gue banjir air mata. 3 hari paling engga. Gue ngerti banget seberapa Harry kehilangan Sirius. Kehilangan satu-satunya orang yang menurutnya paling mengerti dia. Kehilangan orang yang begitu dekat dengan hidupnya. Gue nangis terkadang bukan karena sirius mati, tapi karena usaha harry untuk membuat Sirius kembali. Kayak dia nanya ke Nick—si hantu kepala hampir putus, dan Nick malah bilang “dia tak akan kembali, dia pasti sudah pergi”. Atau ketika Luna bilang “Mereka tak benar-benar pergi, mereka hanya menghilang dari pandangan.” Makin nambah bikin gue nangis. But well, it just a fiction story, right?

Novel terpanjang tapi durasi film terpendek. Aneh. Lumayan, tapi entah kenapa untuk emosi gue lebih dapet di novel. Ya, gue sama sekali ga nangis pas liat sirius mati, terlalu lambat respon menurut gue. Kerennya di ending pas mereka bertarung lawan Death Eaters di departemen misteri. Lalu ketika anggota Phoenix dateng makin seru, diakhiri dengan Dumbledore dan Voldemort bertarung. Gue merasa kayak nonton pertunjukan kembang api. Gue malah terharu ketika Voldemort yg merasuki tubuh Haryy dan Harry bilang:

“You’re the weak one. You never know love or friendship. And I’m sorry for you.”
http://vignette2.wikia.nocookie.net/harrypotter/images/b/b1/Property_of_the_Half-Blood_Prince.jpg/revision/latest?cb=20120729064810

Yuhuuu akhirnya tiba juga di The Half Blood Prince. Sejujurnya ini novel yang gue tunggu-tunggu, entah kenapa. Dan pembukaannya pun sangat tidak mengecewakan, apa lagi saat Narcissa memohon sama Snape untuk menjaga Draco dengan melakukan unbreakable vow—sumpah tak terlanggar. Ini yang paling bikin gue penasaran, apa sebenernya yang pengen dilakukan Malfoy. Begitu berbahayakah sampe ibunya memohon pada orang lain untuk menjaga, membantu, dan bahkan menggantikannya jika ia gagal. Ini hal yang lebih menarik dibanding ngetahui masa lalu Tom Riddle—menurut gue.

Lalu si buku pangeran berdarah campuran, ini bener-bener jenius. Geli sendiri ngeliat harry yang tadinya jeblok banget di ramuan jadi paling bersinar. Panteslah Hermione merasa tersaingi dengan cara curang si Harry ini, tapi kalo dipikir-pikir nggak apa-apalah, sekali-kali gitu Harry ngalahin Hermione di pelajaran.

Atmosfer kehilangan Sirius pun masih terasa hangat di awal, apalagi ketika Dumbledore bilang “Akhir brutal bagi apa yang seharusnya menjadi hubungan yang lama dan bahagia,” membuat air mata gue berlinang lagi. Dan kayaknya masalahnya semakin bertambah berat. Ternyata misi mereka bukan cuma ngebunuh Voldemort tapi melacak horcrux-horcruxnya.

Dan kejutan yang nggak kalah seru ialah ternyata Snape-lah sang pencuri dengar ramalan Treawnley. Jadi selama ini dia yang membocorkan ramalannya kepada Voldemort. Jadi selama ini dia yang membuat Voldemort memburu ayah dan ibu Harry. Bener-bener nggak nyangka. Karena gue nggak pernah liat Snape merasa menyesal, atau bersalah kepada Harry, malah sebaliknya bukan begitu? Gue pun ngerasain banget gimana gelombang kebencian memenuhi hati Harry saat itu juga.

Petualangan di gua, gue rasa cukup seru walau ternyata yang mereka temuin ialah horcrux palsu. Lalu ketika mereka kembali ke menara astronomi dan saat itulah gue baru tau rencana si Draco. Campur aduk antara nggak nyangka dan kasihan. Dan snape lah, always Snape. Gue setengah percaya dia yang akhirnya membunuh Dumbledore. He trusted you, Snape! Dia kabur gitu aja bareng pelahap maut. 

Ini ending yang paling gantung dan tragis dari ke 6 seri Harry Potter yang pernah gue baca. Selama ini Dumbledore selalu ambil bagian di ending. Dia selalu ngejelasin alasan-alasan tersembunyi selama jalan cerita yang belum terungkap, dan ketika Dumbledore ngga ada—bener perkiraan gue—begitu banyak misteri yang belum terungkap. Antara nyesek dan penasaran. Antara pengen cepet-cepet tau dan enggak. Lalu apa artinya ketika harry bilang dia nggak akan kembali ke Hogwarts? Apa iya dia bener-bener-bener nggak kembali dan melacak sisa horcruxnya bersama Ron dan Hermione? Apa nggak ada lagi peron 9 ¾? Apa nggak ada lagi Hogwarts Express? Apa nggak ada lagi Diagon Alley? Atau ruang rekreasi Gryffindor?
Nggak nyangka petualangan mereka hampir akan berakhir. Tiba-tiba gue kangen perjalanan kecil mereka. Perkenalan mereka di Hogwarts Express. Kangen ketika  mereka jalanin detensi bareng. Kangen duduk diperapian sampe tengah malem. Kangen ketika mereka mulai perjalanan ke Hogsmaede. Dan lain-lain.
Untuk film gue rasa cukup oke. Seperti kebiasaan gue, gue nggak bisa nikmati sebuah film pada pandangan pertama, apa lagi film yang diadaptasi dari novel. Jadi butuh 2 atau 3 kali tontonan yang membuat gue lupa dengan novel aslinya lalu menikmati sebuah film tanpa protes. Hanya di film ini emosi harry sangat kurang keliatan, terutama ketika Harry ngejar Snape yang sedang kabur dengan pelahap maut. Padahal gue suka banget di novel pas Harry bilang “Bunuh aku kalau begitu, bunuh aku seperti kau membunuhnya pengecut,” Tapi disana Harry cuma bilang “fight back, fight back coward!”
https://images3.alphacoders.com/226/226095.jpg

Gue malah salut untuk aktingnya Tom Felton—si Draco. Keluar emosinya dengan pas ketika dia ada di menara astronomi yang hendak membunuh Dumbledore. Sedih, sangat sedih saat orang tercinta pergi tentu saja. Apa lagi Dumbledore, tameng yang selalu menjaga Harry selama ini. But now he’s gone. Nothing Dumbledore. Sedih, tapi nggak sesedih ketika Sirius meninggal.

Dan yang paling aneh kenapa isi surat RAB di novel dan di film beda. Kalau di novel RAB bilang dia udah ngancurin horcrux yang asli supaya ketika Voldemort bertemu lawannya dia akan jadi orang biasa lagi yang bisa mati. Sedangkan di film RAB bilang dia bermaksud ngancurin horcrux yang asli supaya ketika Voldemort bertemu lawannya ia akan abadi, sekali lagi. Loh, berlawanan toh? Ya. Penasaran? Banget. Let’s see the Deathly Hallow.



http://www.farhangnews.ir/sites/default/files/content/images/story/91-10/09/4.jpg

Deathly Hallow. Novel terakhir dari 7 seri harry potter. Dibuka dengan rapat para Death Eaters dan pelepasan harry dari Privet Drive no. 4. Ini pembukaan paling  menegangkan + mengerikan yang pernah gue baca. Sumpah ini novel baru dibuka langsung buat lo lupa cara ngatur napas.  Pelahap maut udah dimana-mana. Mantra pelindung harry udah ilang. Rahasia kelam Dumbledore. Muka dua Severus Snape. Kematian mad-eye. Itu yang akan menyapa lo di awal.

Makin ke tengah gue rasa makin gila. Liontin yang telah dicuri R.A.B atau si Regulus Artucrus Black ternyata berada di tangan Umbridge. Sumpah nggak nyangka si Umbridge bakal muncul lagi di novel harpot—tokoh yang paling nggak gue suka setelah Bellatrix Lestrange. Dan Snape? Yang udah ngebunuh Dumbledore, sekarang jadi kepala sekolah hogwarts? Dan ngelempar tuduhannya dengan mudah kepada harry? Merubah hogwarts jadi agen pelatihan pelahap maut?
Dan kesan remaja yang masih berusia 17 tahun juga kerasa banget, yaitu saat Ron ninggalin Harry dan Hermione karena tujuan pencarian horcrux yang nggak jelas. Itu bukti mereka masih remaja, yang agak plin-plan. Nice job, joe! Dulu di seri 1-3 gue ngerasa harry tuh lebih deket sama Ron, tapi di seri 4-7 Harry keliatan lebih deket dengan Hermione. Truly friendship!

Lalu kekecewaan Harry dengan masa lalu Dumbledore yang agak kelam, karena ternyata ia pernah berteman dengan Grindelwald dan merencanakan penguasaan muggle, dan juga terlibat dalam perkelahian yang berujung kematian Ariana. Ini menyiratkan bahwa semua tokoh di novel Harpot itu nggak ada yang sempurna. Semuanya punya sisi hitam dan putih, seperti yang pernah dikatakan Sirius—“we all have got both light and dark inside of us. What matters is the part we choose to act on. That’s who we really are.”
Lalu penerobosan ke Gringgots adalah hal tergila yang pernah gue bayangin dalam pencarian horcrux. Gue penasaran banget gimana wujud Hermione yang menyamar jadi madam Lestrange wkwk. Dan kali ini keberuntungan mereka benar-benar gila, ya gimana nggak gila, kabur pake naga? Apa keberuntungan kali ini nggak terlalu dipaksakan?

Dan kematian Snape. Yang entah kenapa bikin hati gue perih. Ya, dari dulu gue mungkin benci dengan Snape. Kebencian ini tertata rapi oleh Rowling di setiap seri novel Harry Potter. Tapi ada perih disana, sama seperti harry yang memilih menemani saat terakhir Snape, dengan jemari yang berusaha menutup luka di leher Snape, walau ia tahu ia sangat membencinya.

“Pandang.. aku..” dia berbisik. Mata yang hijau beradu dengan yang hitam, tapi setelah sedetik sesuatu di kedalaman dari pasangan yang gelap nampaknya lenyap, meninggalkannya kaku, hampa dan kosong.
“Look.. at.. me..” he whispered. The green eyes found the black, but after a second something in the depth of the dark pair seemed to vanish, leaving him blank, fixed and empty.

Kata ini seolah menyiratkan perasaan Snape yang terdalam. Kata terakhirnya, permintaan terakhirnya, ia hanya ingin harry menatapnya. Gimana bisa, guru yang selama ini membenci Harry pada pandangan pertama, sering menyulitkan Harry di setiap pelajaran, bahkan mencari kesempatan untuk mengeluarkan Harry dari Hogwarts, mengucapkan permintaan itu di akhir hidupnya. 

Dan kebenaran pun terungkap. Bab Prince Tale adalah bab yang paling banyak mengeluarkan air mata. Dan kalo ditanya tokoh mana yang dikarang rowling dengan sempurna, itu adalah SEVERUS SNAPE. Gila, stress, awkward wonderfullll roww!

Kebenaran tentang sosok Snape adalah best moment di novel ini. Cinta sejati, bolehkah gue memanggilnya begitu ? Cinta yang tertanam sejak kecil pada Lily Evans, gadis muggle yang mencuri perhatiannya, walaupun ia membenci kelahiran muggle. Gadis yang menyukainya tapi akhirnya tidak karena ia berteman dengan geng Death Eaters. Gadis yang akhirnya menikah dengan musuh yang dibencinya. Gadis yang membelokkan jalan hidupnya, yang mengubah hasrat terdalamnya, setelah ia saksikan kematiannya. 

Entah, gue nggak tau harus bilang apa lagi. Tokoh yang selama ini membenci harry. Ternyata mencintai Lily—ibu Harry. Ternyata ia bersumpah menjaga Harry—demi Lily. Dan ternyata cinta itu tetap ada bahkan sampai di akhir hidupnya. Jadi itu alasannya kenapa Snape meminta Harry untuk memandangnya, untuk sejenak melihat mata Lily untuk terakhir kalinya. Melihat mata wanita yang hampir seumur hidup dicintainya. Mendadak sedih. Mendadak kagum.
https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/e7/49/b0/e749b0e34b0bcf6cf987730bdce166d0--hp-tattoo-snake-tattoo.jpg

"Lily.. After all this time?"
"Always."

Yeah that’s it. Kira-kira sebulanan gue nyelesaian lima ribu lebih halaman novel harry potter dan ke-8 filmnya. Sejauh ini, harry potter adalah rangkaian fiksi terspektakuler yang pernah gue baca. I love this, much more. 

Dan kalo ditanya seri terbaik dari novel harry potter, gue kasih 3 jawaban teratas:
1.       Deathly Hallow
2.       Prisoners of Azkaban
3.       Order of Phoenix

Tapi kalo untuk film, Deathly Hallow part 2 adalah yang paling keren, cool, and brilliant.

Good bye…

Komentar

Postingan Populer