CERPEN - FORGIVE
Hello..
Ketemu lagi dan sekarang di tahun 2015
By the way, ini postingan pertama gue di tahun 2015
Tahun ini gue buka dengan menyelesaikan cerpen baru gue
Yaa.. Langsung saja..!!
Judul : Forgive
Penulis : Tutut Setyorinie
Has been finished on 4th January, 2015
Ketemu lagi dan sekarang di tahun 2015
By the way, ini postingan pertama gue di tahun 2015
Tahun ini gue buka dengan menyelesaikan cerpen baru gue
Yaa.. Langsung saja..!!
Judul : Forgive
Penulis : Tutut Setyorinie
Has been finished on 4th January, 2015
Gadis berambut panjang itu masih dalam tatapan kosong. Tangan
kanannya terangkat separuh, tapi tak kunjung sampai pada kanvas putih yang
hanya berjarak sekitar satu jengkal dari tempatnya.
Satu kali, dua kali, ia terus mencoba, sampai tangannya lelah
dan akhirnya menjatuhkan kuas yang tertulis nama “Humaira” itu ke lantai.
Sejak kecelakaan dua bulan lalu yang menewaskan ayah dan
ibunya, Humaira kini tak dapat lagi melukis di atas kanvas. Tangannya serasa
kaku dan pikirannya selalu kosong—sama seperti kanvas yang dilihatnya dari
berhari-hari lalu—kosong.
Humaira tak tahu pasti
sesuatu apa yang telah merasuki pikirannya hingga membuat dirinya seperti ini.
Yang ia tahu dan yang selalu terpikirkannya hanyalah kebencian.
Kebencian terhadap pengendara mobil yang telah menabrak ayah
dan ibunya hingga terpelanting beberapa meter kebelakang dan langsung tewas
seketika.
Humaira berjanji dalam hati, jika suatu saat ia bertemu
dengan pengendara mobil itu, ia akan membalas semuanya. Semuanya dengan
setimpal.
——
Kematian kedua orang tuanya, membuat hati Humaira seakan ikut
mati. Ia tak dapat merasakan apapun dan tak dapat menangisi apapun. Bahkan pada
saat pemakaman kedua orang tuanya Humaira sama sekali tak menangis.
Semua tawa dan air matanya telah membeku dan terkubur bersama
kebenciannya. Kebencian yang sangat mendalam.
Semua sikap Humaira berubah. Kini tak ada lagi Humaira yang
periang, yang suka bersenandung di dalam kelas, yang bertingkah hyperaktif dan
sering bikin keributan.
Kini yang ada hanyalah Humaira yang pendiam, tak banyak
berbicara. Lebih sering menyendiri dan bersikap dingin.
Banyak orang yang mengeluhkan hal itu. Terkadang dirinya
sendiri pun mengeluhkan hal yang sama. Tapi semua itu tak bisa disangkalnya.
Dirinya memang tak seperti dulu lagi. Dunianya berubah, kehidupannya berubah
dan semuanya berubah
“Ini semua karena
orang itu!,” tegas Humaira dalam hati.
Pastilah orang
itu, orang yang telah menyebabkan kematian ayah dan ibunya dan juga mematikan
hatinya.
“Selamat pagi
anak-anak,” sapa bu Merlyn yang disambut suara gaduh dari dalam kelas.
“Kembali lagi kita
pada ajaran baru di Januari ini. Oh iya, kita kedatangan seorang murid
baru dari SMAN 203 Jakarta. Silahkan perkenalkan dirimu nak.”
Seorang laki-laki dengan seragam asing dan tinggi sekitar
170an cm itu tiba-tiba bangkit, “Pagi.. Perkenalkan, saya Reno Aprilio dari
SMAN 203 Jakarta.”
“Wah.. orang Jakarta ternyata, Ra,” bisik Selly—teman
sebangkunya.
“Apa bedanya orang Jogja sama orang Jakarta? Malahan orang
Jakarta itu lebih nggak tau sopan santun,” bantah Humaira sambil
membolak-balikan buku tugasnya dengan teliti.
Selly menatap Humaira sejenak, ia menggeleng, “Nggak gitu
juga, Ra.”
“Astaga, dia duduk di depan kita, Ra! OMG, gue bisa gila. Gue
bisa gila,” jerit Selly meremas tangannya sendiri sambil tetap memerhatikan
Reno yang beranjak menuju tempat duduk yang dipilih bu Merlyn untuknya.
Berbeda dengan Selly, Humaira malah mengerutkan kening.
“Shit! Kenapa harus di depan persis sih!”
“Justru bagus dong, Ra..”
“Bagus apanya?”
“Ya.. Bagus aja.”
Setelah bu Merlyn keluar, satu persatu siswa langsung
berkerumun untuk memperkenalkan diri di hadapan Reno.
Walau tampak masih kelelahan, tapi Reno tetap melayani
seluruh siswa yang mau berkenalan dengannya. Ia tersenyum bangga, dirinya
merasa telah menggenggam dunia barunya kini.
Ternyata benar kata orang, orang-orang Jogja sangat ramah dan
murah senyum. Ia tak merasa menjadi orang asing di sini. Banyak sekali yang mau
membantunya, bahkan teman sebangkunya—Yoga—bersedia menukar jam istirahatnya
untuk mengajak Reno berkeliling sekolah dan memperkenalkan semua ruangan yang
ada.
Dan sekarang mereka sedang ada di ruang perpustakaan. Bu
Merlyn sendiri yang meminta murid-muridnya untuk bebas membaca di perpustakaan,
karena ia harus rapat penting bersama Kepala sekolah.
“Nah, ini Ren perpustakaan kita. Yakin deh, lo bisa nemuin semua buku yang lo
pengen di sini. Dari mulai novel, majalah, buku pelajaran sampe buku sejarah
yang masih ditulis pake aksara jawa kuno,” jelas Yoga sambil menirukan gaya
pemandu perjalanan.
Reno
mengangguk-angguk, “Wah berarti sejarah kelahiran gue ada dong di sini,”
balasnya.
Yoga terkekeh
mendengar jawaban teman barunya itu. Ia baru sadar ternyata sikap Reno
tak sedingin wajahnya. Dan tak sedingin perkiraan orang tentang tabiat orang
Jakarta.
“Ngaco lo, Ren. Mana muat ruangan segini nampung sejarah
kelahiran 240 juta rakyat Indonesia. Kecuali lo jadi presiden. Itu juga paling
biografi—sejarah hidup bukan sejarah kelahiran.”
“Oh gitu, harus jadi presiden, ya?” tanya Reno, kali ini
sambil menerawang sesuatu.
“Iya, jenengan jadi presiden, nanti aku tak buat
biografinya,” balas Yoga.
Reno memiringkan kepala, “Apa tadi? Je.. jengan?”
“Jenengan,” ulang
Yoga. “Jenengan itu artinya kamu. Sama kayak koe tapi itu lebih halus.”
“Ohh..” balas Reno sambil menganggukkan kepala—seolah
mengerti.
Setelah lama berkeliling akhirnya Reno mendapatkan buku yang
menurutnya menarik untuk dibaca. Ia memilih tempat duduk yang paling dekat
dengan AC karena tubuhnya terasa panas setelah lama berkeliling.
Baru membaca halaman pertama saja Reno sudah merasa tertarik
pada buku ini. Buku yang mengisahkan tentang Kassian Cephas yang diberi gelar
sebagai Bapak Fotografi Indonesia. Perjuangan seorang Kassian Cephas yang
berasal dari rakyat pribumi yang miskin kemudian mendapat kesempatan untuk
belajar seni fotografi. Hingga ia dikenal luas oleh masyarakat kelas
tinggi—benar-benar menggugah hati Reno.
Ia kembali teringat saat dirinya merayakan ulang tahun
ke-9nya. Kala itu sang ayah meneleponnya bahwa beliau tidak bisa menemani Reno
di acara ulang tahun.
Reno menangis hampir seharian dan mengurung diri di kamar.
Bahkan saat peniupan lilin berlangsung, dirinya masih saja menangis. Sampai
sang ayah tiba-tiba muncul dari belakang sembari menyodorkan sebuah bingkisan
kecil yang langsung disobeknya saat itu juga.
Reno langsung memeluk ayahnya ketika ia mendapati sebuah
kamera SLR dalam bingkisan kado itu. Benda yang selama ini diidam-idamkannya,
kini sudah berada di tangannya sendiri dan Reno hampir tak percaya. Sejak saat
itu Reno selalu meminta ayahnya untuk mengajarinya memotret ketika weekend
tiba.
——
Setelah menghabiskan hampir setengah buku itu, Reno merasa
matanya mulai lelah. Ia pun menyempatkan mengedarkan pandangannya ke sekeliling
perpustakaan untuk menyegarkan kembali pikirannya.
Dan akhirnya matanya tertuju pada seseorang yang duduk tepat
di sampingnya.
Tak sadar, Reno pun menekuri garis wajah gadis yang sedang
asik membaca sebuah buku itu.
Ia merasa mengenali wajah itu tapi ia tak tahu pasti gadis
berambut hitam itu teman sekelasnya atau bukan. Reno akhirnya memutuskan untuk
kembali menekuri wajah itu lagi tapi sialnya gadis itu juga menoleh padanya.
Entah mengapa Reno merasa sangat malu atas kebodohannya tadi.
Memang tidak sopan rasanya, menekuri wajah seseorang tanpa permisi. Tetpi wajah
dingin gadis itu mengingatkannya pada dua orang yang duduk di belakangnya. Reno
menggali-gali ingatannya.
“Ya, Selly! Dia mungkin Selly,” gumam Reno dalam hati. Tapi
ia merasa ada kejanggalan. Seingatnya tadi Selly menguncir rambutnya, tapi
mungkin ia sudah melepasnya karena masuk ruang perpustakaan yang cukup dingin.
Setelah berpikir sejenak, Reno masih tidak yakin bahwa yang
di sebelahnya ini adalah Selly. Akhirnya rasa penasarannya pun mendorong
laki-laki itu untuk bersuara.
“Mm maaf, gue Reno, murid yang baru pindah itu. Kayaknya gue
belum tau nama lo.”
Gadis itu menoleh sedikit tanpa benar-benar meninggalkan
bacaannya, “Humaira.”
Reno menelan ludah, ia bergumam “Ternyata di kota yang
terkenal paling ramah pun masih ada orang yang dingin.”
“Gue emang kayak gini. Kalo lo nggak suka, lo bisa jauhin
gue,” ujar Humaira yang ternyata mendengarkan perkataan Reno.
Reno mendadak kikuk, “Eh sori. Gue nggak ber-maksud ngomong gitu.
Tap.. tapi kenyataannya emang gitu sih. Maaf kalo lo tersinggung,” balasnya.
“Gue lebih ngehargain orang yang berani bicara di depan kok,
daripada yang cuma berani ngocehin di belakang,” jawab Humaira mantap.
Reno melengkungkan senyum. Ia seperti menangkap sisi lain
dari wajah dingin gadis di sampingnya ini.
“Eh itu biografinya Affandi, bukan?” tanya Reno sambil
menunjuk buku yang sedang digenggam Humaira.
Humaira hanya mengangguk kecil tanpa berkata.
“Walaupun gue nggak suka seni lukis, tapi gue akui beliau
adalah pelukis ekspresionis yang hebat,” aku Reno sambil tersenyum.
“Emangnya kalo mau
menilai sesuatu kita harus paham tentang sesuatu itu ya. Bukannya kita udah
dihadiahi Tuhan alat indra yang paling mutakhir untuk ngerasain keindahan?”
tanya Humaira.
Reno mengangguk, ia mengalihkan pandangannya sejenak, “Ya..
lo bener. Hanya aja perlu pemahaman yang lebih mendalam untuk benar-benar
mengerti lalu menilainya.”
“Lo baca novel Dee deh yang judulnya Supernova. Bagi orang
yang nggak ngerti sastra, karya Dee itu susah dipahamin. Banyak istilah
anehlah, ceritanya rumitlah, apalagi bahasanya—njlimet kesumet.”
“Tapi bagi para kalangan sastra, itu sebuah kenikmatan.
Kenikmatan yang nggak bisa semua orang baca. Justru yang bagi orang awam sulit,
bagi mereka menarik.”
“Sama juga kaya seni lukis. Gue tau Affandi cuma sekedar
pelukis yang hebat. Nggak lebih,
kenapa? Karena gue nggak ngerti arti lukisan dia. Mungkin sama kayak orang awam
lainnya, lukisan Affandi keliatan abstrak dan nggak bermakna. Padahal bagi para
pelukis, lukisan Affandi pasti punya makna yang sangat dalam. Komplikasi
bukan?” jelas Reno lagi.
Humaira tak
berbicara lagi. Ia tertegun mendengar semua ucapan lelaki di sampingnya. Tak
sadar, ia pun mengaguminya.
“Kalo ngomongin
lukisan, gue jadi inget kakak gue,” ucap Reno tiba-tiba.
Humaira
memiringkan kepala, “Kakak lo bisa ngelukis?” tanyanya penasaran.
“Dia pelukis terhebat yang pernah gue kenal.” Reno mendesah
gusar. “Tapi.. Sekarang.. Dia nggak mau ngelukis lagi. Ada suatu kejadian yang
bikin dia terus ngerasa bersalah dan ngurung diri di kamar.”
Humaira hanya mengangguk pelan.
“Padahal gue udah ngebujuk dia dan ngejelasin bahwa semua
bukan salahnya. Segala sesuatu udah ada takdirnya bukan? Kita cuma harus
belajar memaafkan. Memaafkan takdir juga memaafkan diri sendiri. Tapi..
sayangnya itu yang paling susah.”
Reno melanjutkan sambil sesekali menghela napas. Berat.
Humaira tak berkutik sedikitpun. Untuk kedua kalinya ia
tertegun mendengar kata-kata dari seorang lelaki yang baru dikenalnya kurang
dari sehari ini.
Lelaki itu
berbicara seperti membicarakan dirinya. Menasehati seperti menasehati dirinya.
Humaira pun membenarkan dalam hati, ia juga harus belajar memaafkan. Memaafkan
takdir dan memaafkan dirinya sendiri. Walau butuh waktu lama, dirinya pasti
bisa. Pasti.
——
Hari ini adalah
hari minggu kedua di bulan Januari. Tidak seperti pagi yang biasanya diguyur
hujan, pagi ini malah cuacanya terbilang cerah.
Mentari tak
malu-malu lagi menampakan diri. Awan kelabu yang biasa menggantung di langit
sekarang berganti dengan cakrawala biru yang tampak tak berujung. Burung-burung
pun ikut meramaikan dengan berkicauan dan berkejar-kejaran tanpa terhalang
hujan.
Gadis itu kembali mengecek peralatan melukisnya dengan
cermat. Dari mulai kuas, pensil, penggaris, cat air, hingga kanvas dan
penyangganya. Setelah semuanya dirasa lengkap, ia pun membungkusnya dalam
ransel hijau bergambar keropi.
Humaira menghela napasnya. Perbincangannya dengan Reno
beberapa hari lalu telah menggugah hatinya. Ia mulai belajar memaafkan takdir.
Kecelakaan kedua orang tuanya bukan sepenuhnya salah si
penabrak, itu semua pasti sudah tertulis dalam takdir-Nya. Humaira mulai mengerti dan dari detik ini ia akan
berusaha menerima takdir itu.
“Pelan-pelan,
pasti akan bisa!” Humaira meman-tapkan.
Hari libur ini,
Humaira gunakan untuk berkeliling Malioboro yang jaraknya lumayan dekat dari
rumahnya. Ia memilih untuk berjalan kaki, selain menyehatkan bukankah dengan
berjalan kaki kita bisa lebih menikmati indahnya alam sekitar.
Dan akhirnya
pesona pasar tradisional itu telah tampak di pelupuk mata. Malioboro adalah
sebuah pasar dan nama jalan yang paling terkenal di kota Jogja. Kini pasar itu
terlihat penuh sesak.
Beberapa orang
tampak sibuk berlalu lalang ke sana-ke mari sambil menenteng tas belanja. Ada
pula yang sibuk membereskan barang dagangan, tawar-menawar, hingga
kejar-kejaran sama kucing—sang pencuri ikan.
Humaira tersenyum
tipis, entah sudah berapa lama dirinya tidak menyaksikan semua ini. Gadis itu
lalu mengeluarkan peralatan melukisnya.
Kini gadis itu
telah siap. Ia telah siap untuk melukis kembali. Dirinya memandang
sejenak kanvas putih yang tampak kosong sejak dua bulan lalu.
Satu detik, dua detik. Dan ia pun berhasil menggoreskan warna
baru di kanvasnya—sungguh lega rasanya—Humaira bergumam.
Jpret !
Humaira
terkaget—kilatan blitz kamera tiba-tiba mengenai matanya. “Elo?”
“Kok lo nggak
pernah bilang sih, kalo lo pinter ngelukis?” tanya Reno sambil mengalungkan
DSLRnya ke leher.
Humaira
mengerutkan kening, “Lo ngapain di sini? Pake acara ngefoto gue lagi!”
“Sori. Kalo
lo nggak suka. Gue bakal apus foto lo dan..,” balas Reno sambil mengutak-atik
tombol di kameranya.
“Nggak. Gue nggak
suka,” potong Humaira cepat.
Reno mengangguk, “Oke udah diapus.” Ia lalu menyunggingkan
senyum, “Jangan galak-galak dong mba. Kayak baru kenal aja. Kan kita udah
temenan dua minggu.”
Humaira tak menjawab, ia memilih meneruskan lukisannya yang
masih belum selesai.
“Oh iya, lo belom jawab pertanyaan gue tadi,” tanya Reno
tiba-tiba.
Humaira menoleh, “Pertanyaan yang mana? Yang kenapa gue nggak
pernah bilang ke lo itu.”
Reno mengangguk.
“Haha.. ” Humaira malah tertawa.
“Jangankan ngasih tau lo. Orang sekelas juga nggak ada yang
tau gue bisa ngelukis.”
“Ya gimana mau tau. Ngeliat lo aja anak kelas juga udah pada males, ” balas Reno sambil
memalingkan muka.
“Oh jadi lo mau
bilang lo juga males ngeliat gue?” Humaira balas bertanya.
Reno terkekeh,
tapi dia menggeleng. “Sebagai orang yang pertama tau. Boleh dong.. kasih
bonus. ”
“Bonus apa maksud lo?”
Reno mengangkat bahu, “Apa kek, lukisan kek..”
“Ngelukis elo? ” tanya Humaira. Ia terdiam sejenak, lalu
menggeleng. “Sori gue nggak
bisa. Ini baru lukisan pertama gue dari dua bulan yang lalu. Gue masih harus
beradaptasi lagi, ” lanjut Humaira kemudian.
“Dari dua bulan
yang lalu?” Reno balik bertanya.
Humaira mengangguk
pelan.
“Mm, biar gue
tebak. Bulan ini lo ulang tahun ya? Atau jangan-jangan lo lagi anniv? Soalnya
biasanya kalo orang tiba-tiba bisa ngelakuin sesuatu, pasti ada yang
ngedorong-nya.” Reno menebak.
“Tapi tebakan lo
salah, ” potong Humaira. “Beberapa
hari lalu gue ngobrol sama seseorang. Orang itu nyeritain kisah yang
mirip banget dengan kisah gue. Dia ngomongin kayak gue yang lagi di omongin.
Dia nasehatin juga kayak gue yang dinasehatin. Gue kayak ngaca sama apa yang
dia omongin.” Humaira berhenti sejenak.
“Orang itu bilang kita harus belajar memaafkan. Memaafkan takdir juga memaafkan diri
sendiri. Gue rasa dengan ini gue bisa belajar itu semua. Belajar seperti yang
dibilang orang itu,” lanjut Humaira.
Reno memiringkan kepala, “Orang itu bukan gue kan?”
Gadis itu menerawang. “Tapi kalo ternyata elo gimana?” tanya
Humaira.
Reno tiba-tiba terdiam. Keadaan menjadi hening seketika.
“Kalo ternyata itu gue. Gue bersyukur, Ra,” balas Reno akhirnya.
——
Setelah berhari-hari lamanya. Setelah begitu sulit rasanya.
Akhirnya Humaira kini telah benar-benar memaafkan kejadian kecelakaan orang
tuanya. Pelan-pelan dirinya pun kembali seperti dirinya yang dulu—yang ramah,
periang, dan hangat.
Humaira kembali membuka diri, tak dapat disangkanya ia
mendapatkan respon positif dari semua temannya. Terutama Selly—teman
sebangkunya—malah Selly sampai ingin bersujud di hadapan orang yang telah
mengubah hidup Humaira kini.
Tapi tentu saja, tak ada orang yang tau pasti siapa yang
telah mengubah hidup Humaira kecuali Humaira sendiri.
Senin pagi telepon rumahnya berdering.
Humaira sempat kaget karena telepon itu datang dari
kepolisian dan dirinya diminta untuk datang ke kantor polisi saat itu juga.
“Mbak Humaira ya? Terima kasih mbak sudah bersedia datang,”
sapa salah seorang petugas kepolisian pada Humaira.
“Kami hanya ingin mengabarkan, bahwa orang yang menyebabkan
kecelakaan kedua orang tua mbak sudah menyerahkan diri kemarin sore,” kata sang
Polisi.
Jantung Humaira
berhenti saat itu juga. Orang yang menyebabkan kematian ayah dan ibu, ulang
Humaira dalam hati.
Humaira tiba-tiba
teringat akan janjinya dulu. Janji untuk membalas semua perbuatan si penabrak
dengan setimpal. Dirinya kembali teringat akan kebenciannya pada si penabrak
dan juga tentang balas dendam yang sempat direncanakannya dulu.
Dada Humaira
terasa sangat sesak. Ia tak tahu harus apa sekarang.
“Jika mbak Humaira
meminta agar si penabrak itu dihukum, kami bersedia. Tapi jika mbak Humaira
memilih memaafkan, kami tidak dapat menolak. Semua keputusan ada di tangan mbak
Humaira. Tapi sebaiknya mbak bertemu dulu ya sama dia. Sebentar saya
panggilkan.”
Deg.
Jantung Humaira tiba-tiba berdetak kencang.
Keinginannya selama ini sebentar lagi akan terlaksana.
Keinginan untuk bertemu langsung dengan penyebab kecelakaan ayah dan ibunya.
Sekarang waktunya telah tiba, Humaira bahkan belum sempat mempersiapkan diri.
“Reno?” — “Humaira?”
Humaira sontak
terkaget dan terpukul. Entah mengapa dadanya terasa lebih sesak melihat Reno
ada di sana dan sedang mendampingi seorang wanita yang memakai baju tahanan.
“Kalian saling kenal?” tanya wanita tersebut. Selang beberapa
saat, tak ada yang menjawab dari keduanya.
“Jadi kamu
Humaira? Maafkan saya. Saya bersedia diadili di hadapan hukum karena telah
menyebabkan kematian orang tua kamu,” ucap wanita tadi.
Reno menoleh, “Ini kakak gue, Ra. Gue nggak tau selama ini ternyata…”
Humaira tak berani berkutik.
“Ini kebetulan yang aneh, ” lanjut Reno tiba-tiba.
“Semua nggak ada yang kebetulan. Semua udah diatur dalam
takdir-Nya. Gue nggak akan ngelupain nasihat seseorang supaya belajar
memaafkan. Dan setelah gue berhasil, gue nggak akan mengulanginya lagi,” balas
Humaira.
“Saya mungkin kecewa karena kakak telah menyebabkan kematian
ayah dan ibu saya. Tapi saya udah ngerti, ini bukan salah siapa-siapa, juga
bukan salah kakak.”
“Ini adalah takdir dan adik kakak sendiri yang ngasih tau
saya. Semua manusia harus belajar memaafkan. Saya memaafkan kakak dari hati
saya,” lanjut Humaira dengan tenang.
Wanita tadi bergusar. “Tapi saya nggak mau, hidup saya
dihantui rasa bersalah. Apa ada hal yang harus saya lakuin untuk ngebalas dosa
saya sama orang tua kamu?”
“Ada.” Humaira mengangguk, ia meneruskan, “Maafkan diri kakak juga maafkan takdir yang
udah terjadi.”
Wanita itu langsung memeluk Humaira erat. Ia menangis, tapi
bukan tangis kesedihan. Ia memeluk Humaira sampai tangisnya itu mereda
perlahan.
“Kamu punya hati yang luar biasa. Sekali lagi, maafin saya ya dik.”
Humaira hanya
mengangguk kecil.
“Ra?” panggil
Reno. Humaira menoleh.
“Makasih,” lanjut
Reno lalu juga memeluk Humaira. “Gue kagum sama lo, Ra! Bener-bener
kagum.”
“Do you wanna be mine?” tanya Reno tiba-tiba.
Jantung Humaira
kembali berhenti sesaat. Tapi pikirannya malah melega. Ia mengangguk tanpa
berpikir lagi.
Komentar
Posting Komentar